Al-Ahnaf
bin Qais seorang yang tenang, tidak mudah panik, tawaduk dan memiliki sifat
penyabar. Beliau pula telah biasa menghadapi kesulitan dan hidup dalam tekanan.
Suatu
hari terjadi fitnah di antaRa dua kabilah di sebuah masjid di Kufah. Fitnah
tersebut telah membuatkan kedua-dua kabilah menghunus pedang dan memasang anak
panah. Suasana semakin hiruk-pikuk. Hampir saja semua kepala berpisah dari
jasad.
Maka
keluarlah seorang di antara mereka untuk mendapatkan seseorang menjadi pendamai
bagi merungkai kekusutan kedua belah pihak yang sedang kegundah-gulana akibat
fitnah tersebut.
Ketika
peristiwa itu berlaku Al-Ahnaf berada di rumahnya sedang memerah susu
kambingnya.
Dia
memakai pakaian yang harganya tidak melebihi sepuluh dirham. Badannya kurus,
penampilannya berprihatin, tenang dan berwibawa.
Semasa
dikhabarkan kepadanya tentang peristiwa yang sedang berlaku di masjid itu
beliau hanya berkata:
"Insya Allah, semuanya akan berjalan
dengan baik."
Sebelum
melihat perbalahan itu, beliau terlebih dahulu bersarapan, seakan-akan tidak
pernah terjadi apa-apa. Sarapannya pula hanya sepotong roti kering, minyak,
garam dan segelas air.
Dia
memulai makan dengan bacaan:
“'Bismillah.”
Setelah selesai makan dia membaca:
“Alhamdulillah.”
Seraya berkata:
"Ini roti dari gandum Iraq."
"Minyaknya dari Syam."
"Airnya dari sungai Tigris."
"Garamnya dari Murw."
"Adalah nikmat yang tiada tara."
Kemudian
ia pun memakai pakaiannya dan mengambil tongkatnya, lalu berjalan menuju masjid
dimana para kabilah sedang berhadap-hadapan dengan senjata masing-masing.
Ketika
mereka (orang-orang kabilah itu melihatnya) yang berada di masjid itu, kepala
mereka semua tertunduk dan mata mereka menatap ke tanah.
Semuanya
mendengarkan kalimat perdamaian yang ia ucapkan.
Akhirnya,
ia meminta mereka semua bubar dan semuanya akur melakukan apa yang beliau minta
tanpa sebarang bantahan. Kejadian tersebut dengan mudah dapat diselesaikan,
fitnah di antara mereka dapat dihindari
dan persengketaan dapat dimuktamadkan secara harmonis.
No comments:
Post a Comment